Oleh Erwin Syah
Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Sabtu, 04 Juni 2011
Gambar: Laki-laki Eropa beserta gundik (Nyai) dan dua anaknya
Gambar: Laki-laki Eropa beserta gundik (Nyai) dan dua anaknya

Sumber: Foto-foto dalam "Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda" karya Reggie Baay
Buku “Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsh Oost Indie” terbitan tahun 1921, kata Nyahi adalah sebutan bagi seorang ‘perempuan pengatur rumah tangga serta juga milik dari seorang pria Eropa’ (Capt. R.P. Suyono, 2005: 16). Selain mengatur rumah tangga juga memenuhi kebutuhan sex laki-laki Eropa dan menjadi ibu dari hasil hubungan tersebut. Nyai sama halnya dengan sebutan pergundikan. Kalau diartikan pergundikan atau gundik adalah istri orang terhormat yang tidak resmi; perempuan piaraan; selir (Yuwono dan Abdullah, 1994: 173). Istilah gundik itu sendiri berasal dari bahsa Jawa.
Kata ‘nyai’ didapati dalam bahasa Bali, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa dengan pengertian ‘perempuan (muda), adik perempuan’, dan juga dipakai sebagai istilah panggilan. Karena banyaknya gundik yang berasal dari Bali maka istilah Nyai berkembang menjadi sebutan bagi gundik-gundik laki-laki Eropa. Pergundikan di Hindia-Belanda di kalangan laki-laki Eropa banya berbagai macam istilah sebutan selain Nyai, yaitu moentji (mulut kecil), meubel (perabot), inventarisstuk (barang inventaris), boek (buku), woondenboek (kamus), mina, sarina sebutan di Tangsi KNIL, Deli Kartina di perkebunan Deli.
VOC sekitar abad ke-17 datang ke Nusantara dengan armadanya untuk melakukan perdagangan di tanah nusantara. Namun dalam perkembangannya dari perdagangan mengarah pada penjajahan. VOC yang datang ke nusantara terdiri laki-laki Eropa yang masih lajang. Sehingga kebutuhan biologis para pria lajang tersebut tidak terbendung dengan banyaknya laki-laki Eropa yang mengambil budak untuk dijadikan pembantu sekaligus teman tidur untuk melakukan hubungan layaknya suami istri.
Budak diambil dari Filipina, India, Sulawesi, dan India. Tidak mengambil budak dari Jawa karena alasan keamanan. Kehidupan pergundikan dikalangan pegawai laki-laki Eropa berdampak pada kemarahan Coen Jenderal Hindia Belanda ke-4 dan pada tahun 11 Desember 1620 Coen melarang pergundikan (Baay, 2010: 2). Pada tahun 1622 tiba perempuan Belanda yang berasal dari yatim piatu yang memiliki reputasi yang baik untuk menghindari perilaku pergundikan dikalangan pegawai VOC. Namun pada akhirnya tidak efektif untuk meminimalisir pergundikan di Hindia Belanda.
Pada akhir abad ke-18 kekuasaan VOC berakhir di nusantara karena masalah yang terjadi di dalam VOC itu sendiri salah satunya korupsi yang dilakukan dikalangan VOC. Sehingga kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sehingga nusantara berubah alih menjadi Hindia-Belanda.
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda pergundikan masih kerap terjadi dikalangan laki-laki Eropa. Tidak dipungkiri pergundikan menjadi suatu budaya yang diwarisi sejak VOC berkuasa hingga ke pemerintahan Hindia-Belanda. Laki-laki Eropa yang datang ke Hindia-Belanda dirasa perlu untuk mengambil gundik. Gundik memiliki manfaat sendiri disamping menjadi istri simpanan yang tidak sah, salah satunya sebagai guru bagi laki-laki Eropa untuk mengajari kebudayaan nusantara khusunya kebudayaan Jawa.
Pergundikan juga berkembang di dalam tangsi tentara Hindia-Belanda yang disebut juga KNIL. Anggota tentara KNIL tidak hanya dari kalangan laki-laki Eropa saja akan tetapi juga berasal dari kalangan pribumi (inlender). Para tentara KNIL dan gundik hidup di dalam tangsi kalaupun mereka memiliki anak dari hasil pergundikan juga tinggal bersama. Tidak jarang anak hasil pergundikan tidur dibawah tempat tidur atau kolong tempat tidur sehingga lahir istilah “anak kolong”. Pergundikan yang terjadi di barak tentara KNIL timbul pro dan kontra. Karena pergundikan merupakan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar dasar-dasar agama Kristen, dan eksploitasi perempuan. Bagi yang pro terhadap pergundikan menilai bahwa pergundikan menghindarkan para tentara KNIL untuk pergi ke tempat prostitusi. Sehingga meminimalisir prostitusi di kalangan tentara KNIL. Apalagi dengan semakin marak penyakit kelamin yang berkembang salah satunya syphilis. Selain menghindarkan dari perbuatan pergi ke pelacuran juga menghindarkan para tentara terhadap penyakit kelamin.
Di sisi lain, seorang peserta serius dalam debat “Pro dan Kontra” praktik pergundikan di barak militer kalangan anggota KNIL pada 1918, sebenarnya mengajukan argument berbagi tempat tidur dengan gundik sesungguhnya memperkaya dan meningkatkan “kesehatan dan moral” tentara (Gouda, 1995: 199). Meningkatkan kesehatan maksudnya bahwa menghindarkan mereka dari penyakit kelamin seperti syphilis, sedangkan meningkatkan moral yaitu menghindarkan tentara KNIL pergi ke tempat pelacuran. Dengan adanya pergundikan tentara KNIL ada yang mengurus keperluaan sehari-hari layaknya suami istri.
Pergundikan yang terjadi dikalangan militer maupun dikalangan laki-laki Eropa lainnya ada yang berakhir dengan pernikahan. Di bawah ini merupakan isi berita pada surat kabar harian yang terbit di Surabaya mengenai gundik di Tangsi KNIL.
Boet tjegah goendik dalem tangsi
Boet tjegah piara goendik dalem tangsi, perkara mana senantiasa diperhatiken oleh pemerentah, maka masih sadja teroes meneroes pemerentah membikin brapa roemah2 boeat onderofficier2 Europa jang telah kawin dan boeat soldadoe jang telah kawin, begitoe djoega merobah keada’anja tempat2 tinggalja soldadoe bangsa Europa. Setelah dalem taon jang blakangan ini ada dibikin lagi 40 roemah, maka sekarang roemah jang telah disediaken bagi ouderofficier ada 574 tempat, sedang di Soerabaja, Tjilatjap dan Poerworedjo masing masing ada 2,6 dan 12 tempat boet anak militair berpengkat rendah jang telah rampoeng dibikin. Di Poerworedjo 6 dan di Meester Cornelis 20 roemah sedang dibekerdjaken.
Dengan peroebahan keada’an tempat tinggalnja anak militair jang berpangkat rendah jang soedah kawin dari bangsa Boemipoetra, aken diperhatiken djoega nanti dengan pembikinan baik benteng Vastenburg di Soerakarta dan kempement2 lijf achtcavalerie di Djokdja, Mereudoe dan Koeta Tjane (Atjeh), sedang dengen pembikinan baik tangsi tangsi boet pegawei roemah sakit di Malang dan di Segli aken diperhatikan djoega perkara perminta’an tempat seperti di atas,
Sumber: Pewarta Soerabaja No.152, 10 Juli 1918.
Pemerintah Hindia-Belanda juga memberikan perhatian lebih bagi gundik yang ada di Tangsi KNIL. Perhatian tersebut dibuatkannya rumah – rumah untuk tempat tinggal mereka. Pembuatan rumah-rumah tersebut tidak hanya diperuntuhkan bagi orang-orang Eropa saja, akan tetapi pribumi juga (inlender).
Dalam Bukunya Reggie Baay “Nyai Dan Pergundikan Di Hindia Belanda”, Nyai merupakan nenek moyang orang-orang Indo-Eropa.
Daftar Pustaka
Baay, Reggie. 2010. Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu
Gouda, Frances. 1995. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Pewarta Soerabaja. 10 Juli 1918. No.152.
Suyono, Capt. R.P. 2005. Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Yuwono, Trisno dan Abdullah Pius (Ed.). 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis. Surabaya: Arkola.
0 Response to "Sejarah dan Perkembangan Nyai di Hindia Belanda"
Posting Komentar